SALMONELLA PARATYPHI - TYPHOID (TYPUS)

<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: georgia; text-align: left;">By </span><b style="font-family: georgia; text-align: left;">Deden Sura Agung</b></div><div style="text-align: justify;"><b style="font-family: georgia; text-align: left;"><br /></b></div><div style="text-align: justify;">Demam Enterik (Tifoid) adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran  Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena memiliki gejala klinis yang sama dengan typhus. Namun pada awal tahun 1800-an, demam typhoid secara jelas didefinisikan sebagai kelainan patologis berupa suatu penyakit yang berbeda (unik) dikarenakan dasar penegakan penyakit yang berhubungan dengan pembesaran Plak Peyeri dan nodus limfatikus mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan tempat infeksi, istilah demam enterik diajukan sebagai istilah alternatif untuk membedakan demam tifoid dari tifus. Namun pada saat ini kedua istilah tersebut sering bertukar tempat.</div><b style="color: orange;">Epidemiologi</b><br /> <div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div>Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya penyebaran demam tifoid di negara sedang berkembang adalah kepadatan penduduk, sumber air minum, produksi makanan, strain resisten antibiotik, kesulitan menentukan identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis pasti, patogenesis dan virulensi yang belum diketahui sepenuhnya, serta belum adanya vaksin, efektif aman dan murah.</div><div style="text-align: justify;">Bakteri S. typhi dapat bertahan hidup di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 630 C. Organisme ini mampu bertahan beberapa minggu di es, debu, sampah kering, dan pakaian, mampu bertahan di tempat sampah selama satu minggu dan dapat berkembang biak dalam susu, daging atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya.<br /> Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita tifoid atau karier kronis. Transmisi kuman terutama dengan cara menelan makanan atau air yang tercemar tinja manusia. Transmisi secara kongenital dapat terjadi dari seorang ibu yang mengalami bakteriemia kepada bayi dalam kandungan, atau tertular pada saat dilahirkan oleh seorang ibu merupakan karier tifoid dengan rute fekal oral.</div><br /> <b style="color: orange;">Etiologi</b><br /> <div style="text-align: justify;">Salmonella Typhi adalah bakteri Gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhii juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.</div><br /> <b><span style="color: orange;">Patogenesis</span></b><br /> <i>Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh</i><br /> <div style="text-align: justify;">Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. typhi dalam dosis 106 - 109 . Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan akibat sel epitel mati oleh bakteri S. typhi. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba eustachi ke telingah tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.</div><div style="text-align: justify;">Di lambung, organisme menemui suasana asam dengan pH dengan rendah dalam kuman dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan pelindung fisiologis. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganiusme sampai ke usus halus dan menemui dua mekanisme pertahanan tubuh, yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas usus karena obat-obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi, serta memperpanjang keadaan karier konvalesens. </div><div style="text-align: justify;">Sebuah penelitian menunjukkan bahwa apabila kuman yang masuk sebanyak 103 atau kurang, belum dapat menimbulkan gejala pada penderita, tetapi jika jumlahnya lebih dari 105 atau lebih menimbulkan gejala pada 27% sukarelawan. Semakin tinggi jumlah kuman yang masuk, semakin besar kemungkinan seseorang terkena deman typhoid, apalagi apabila kuman tersebut termasuk jenis yang menghasilkan gen polisakarida kapsul atau Vi.<br /> Selanjutnya kuman akan menembus dinding usus halus, masuk ke kelenjar mesentrika, lalu ke duktus thoracicus dan masuk ke dalam peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi I.<br /> Kuman-kuman ini kemudian akan ditangkap oleh sel-sel RES dari limpa hati dan organ-organ lainnya. Setelah beberapa lama, kuman-kuman tersebut kembali masuk ke peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi II dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk melalui kantung empedu dan aliran empedu, masuk ke lumen usus lalu menembus hingga ke  plaque peyeri.</div><br /> <b style="color: orange;">Manifestasi Klinis</b><br /> <div style="text-align: justify;">Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata 10 – 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini  disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi, imunologi dan lama sakit di rumahnya. </div><div style="text-align: justify;">Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan denga pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat; seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.</div><div style="text-align: justify;">Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan nampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga ijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh obstipasi, obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.<br /> Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2-4 sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang tua kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Bronkhitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.<br /> <br /> <b><span style="color: orange;">Penyulit (Komplikasi)</span></b><br /> Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %, sedangkan perdarahan usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, dan hilangnya keredupan hepar.</div><div style="text-align: justify;">Pada komplikasi neuropsikiatri sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).<br /> Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerunefritis yang dapat bermani9festasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.<br /> Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya.<br /> <br /> <b><span style="color: orange;">Gambaran Darah Tepi </span></b><br /> Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/l3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000 – 25.000/l3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.<br /> <br /> <b><span style="color: orange;">Diagnosa dan Deteksi Pembawa Kuman</span></b><br /> Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat dapat membuat diagnosis tersangka demam typhoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah, atau dapat pula dari feces atau urine. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prcsedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.</div><div style="text-align: justify;">Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menuniukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak pendapat apabila titer O aglutinin sekaii periksa > 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tit'oid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.<br /> Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan faeces. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.<br /> <br /> <b><span style="color: orange;">Diagnosis Banding</span></b>Pada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi Jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam typhoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b style="color: orange;">Tatalaksana</b><br /> Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan seksama.</div><div style="text-align: justify;">Kloramfenikol masih merupakn pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 sampai 14 hari sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal hal tersebut jarang dilaporkan.</div><div style="text-align: justify;">Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 100-200 mg/kg Berat Badan/hari dibagi 4 kali  pemberian secara oral atau suntikan intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kg Berat Badan/hari dibagi 4 kali pemberian memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimetophin sulfametoksazol memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Seftriakson dan sefoperazon dapat memberikan angka kesembuhan 90% dan relaps 0-4%. Akhir-akhir ini cefixime oral 15-20 mg/kgBB/hari pertama 10 kali dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/ atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi.</div><div style="text-align: justify;">Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, koma atau syok, deksametason dosis tinggi 1 – 3 mg/kg Berat Badan/hari disamping antibiotik yang memadai dapat menurunkan angka kematian. Demam tifoid edngan tifoid denga npenyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan tranfusi darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakan diagnosis. Laparotomi segera harus dilakukan pada perfusi usus didertai penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis.<br /> Tiga persen penderita demam typhoid akan menjadi karier, kejadiannya meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Terjadinya penderita dengan karier biasanya disebabkan oloh infeksi kandung empedu yang kronis akibat batu empedu dan penderita mengeluarkan kumannya melalui kotoran ( kandung empedu dan saluran empedu  sebagai sumber infeksi),<br /> sehingga kolesistektomi dapal dipertimbangkan pada > 8 % karier, bahkan tanpa pemberian antibiotika. Pengobatan Karier tergantung ada tidaknya kelainan kandung empedu<br /> kantung empedu normal<br /> •    Ampisilin 500 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, atau <br /> •    Ampisilin 200 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, intravena, atau<br /> •    Ampsilin 100 - 200 mg/kg/hari, untuk 3 - 4 minggu.<br /> •    Amoksisilin 40 mg/kg/hari, peroral  (tiap 8 jam) + Probenezid 25 mg/kg dosis pertama (selanjutnya 40 mg), peroral (tiap 6 jam), selama 4 - 6 minggu.<br /> •    TMP 8 mg/kg/hari, SMZ 40 mg/kg/hari, uintuk 3 - 4 minggu.<br /> •    Norfloxazin / Ciprofloxacin.<br /> Merupakan golongnn quinolon, telah berhasil baik pada penderita dewasa. <br /> Karena pengaruhnya lerhadap perkeimbangan Tulang rawan, sehingga tidak dianjurkani untuk anakyang lebih muda dari 18 tahun.<br /> Disfungsi kandung empedu<br /> Obat dan dosis sama dengan untuk kandung empedu normal + Kolesistektomi + Amoksisilin untuk 30 hari kemudian.<br /> <br /> Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.<br /> Pencegahan<br /> Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typlii, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi seting 57°C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.<br /> Untuk rnakanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.<br /> Vaksin Demam Tifoid<br /> Saat sekarang dikenal (tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A,  S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 – 70 %.</div><div style="text-align: justify;"><a href="http://www.blogger.com/goog_1419315295"><br /> </a></div><div style="text-align: justify;"><a href="http://adf.ly/104369/salmonella-paratyphi">Download artikel Salmonella Paratyphi - Typhoid (Typus) dalam bentuk Microsoft Word secara lengkap.</a></div><div style="text-align: justify;"><br /> <b style="color: #e06666;">DAFTAR PUSTAKA</b><br /> 1.Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition .McGraw-Hill.2005 <br /> 2.Behrman KE. Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan HI VC Typhoid fever. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-14 Philadelphia: WB Saunders Co, lS92.h.731-34.<br /> 3.Butier T Typhoid fever. Dalanu Warren KS, Mahmoud AF (penyunting). Tropical<br /> and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Me Graw-HiU Information<br /> Services Co, 1990 Ji.753-7.<br /> 4.Hayani CH, Picketing LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD (penyunting). Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo: V/B Saunders Co, 1992.K620-33.<br /> 5.Hoffman SL. Typhoid fever. Dalatn: Strickland GT penyunting. Hunter's tropical medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co. 1991.h.344-58.<br /> <br /> Article Source:  <a href="http://djendral-berbagi.blogspot.com/2011/02/salmonella-paratyphi-typhoid-typus.html">http://djendral-berbagi.blogspot.com/2011/02/salmonella-paratyphi-typhoid-typus.html</a></div>

By Deden Sura AgungDemam Enterik (Tifoid) adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran  Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena memiliki gejala klinis yang sama dengan typhus. Namu…

TUBERCULOSIS (TB)

<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: georgia; text-align: left;">By </span><b style="font-family: georgia; text-align: left;">Deden Sura Agung</b></div><div style="text-align: justify;"><b style="font-family: georgia; text-align: left;"><br /></b></div><div style="text-align: justify;">Tuberculosis (TB) is a disease that has long been recognized by humans. Mycobacterium tuberculosis causes tuberculosis germ has been discovered by Robert Koch in 1882. Although already known for so long and have long found the drug - a potent antituberculosis drugs, today TB is still a major health problem throughout the world. Last decade of the 20th century, the number of new TB cases increased throughout the world, 95% of cases occurring in developing countries. In Indonesia, tuberculosis is still a prominent problem. Even globally, Indonesia was ranked third as the world's largest contributor of cases. </div><div style="text-align: justify;">Increasing the number of TB cases in many places at this time thought to be caused by many things, namely (1) incorrect diagnosis, (2) inadequate treatment, (3) prevention program is not implemented properly, (4) infection endemic human immuno - deficiency virus (HIV), (5) migration of population; (6) treat yourself (self-treatment); (7) increasing poverty; (8) inadequate health services. </div><div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div>Tuberculosis child has special problems that are different from adults. In tuberculosis of children, the problems faced is the problem of diagnosis, treatment, prevention, and tuberculosis in HIV infection. </div><div style="text-align: justify;">The difficulty of diagnosing TB in children, often followed over diagnosis overtreatment. On the other hand, under diagnosis and under treatment was also found. This happens because the source of the spread of TB are usually adults with sputum positive acid-fast bacilli, so that TB control is emphasized in the treatment of adult tuberculosis. As a result, TB treatment of children less attention. </div><div style="text-align: justify;">WHO is making efforts by making a consensus diagnosis in many countries. Given this consensus, the diagnosis of TB is expected to be enforced child the possibility of overdiagnosis or underdiagnosis sehinggan can be minimized and the exact prevalence known. </div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b><span style="color: #bf9000;">1. Symptoms of Tuberculosis (TB)</span></b> </div><div style="text-align: justify;">a. Main symptoms, persistent cough and phlegm for 3 (three) weeks or more </div><div style="text-align: justify;">b. Additional symptoms that are common: bloody sputum, coughing up blood, shortness of breath and chest pain, body weakness, decreased appetite, weight loss, body discomfort (malaise), night sweats, although no activity, fever fever for more than a month , there is a reddish reaction immediately after injection of BCG (within 3-7 days), there are common symptoms of TB </div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b><span style="color: #bf9000;">2) Common symptoms of TB in children </span></b></div><div style="text-align: justify;">- Weight down for 3 months in a row for no apparent reason and does not rise within 1 month despite treatment with good nutrition (failure to thrive). </div><div style="text-align: justify;">- No appetite (anorexia) with failure to thrive and weight does not go up (failure to thrive) with adequately. </div><div style="text-align: justify;">- Fever long / repetitive for no apparent reason (not typhoid, malaria or acute respiratory infection) can be accompanied by night sweats. </div><div style="text-align: justify;">- Enlargement of superficial lymph nodes are not ill usually the most frequent multiple armpit and neck area groin (inguinal). </div><div style="text-align: justify;">- The symptoms of respiratory tract such as cough for more than 30 days (after excluded other causes of cough), signs of chest fluid, and chest pain. </div><div style="text-align: justify;">- The symptoms of recurrent gastrointestinal tract such as diarrhea that are not cured by treatment of diarrhea, lump (period) in the abdomen and signs of fluid in the abdomen. </div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b><span style="color: #bf9000;">3) Specific Symptoms </span></b></div><div style="text-align: justify;">These symptoms usually depend on which body part affected for example: </div><div style="text-align: justify;">- TB Skin / skrofuloderma </div><div style="text-align: justify;">- Tuberculosis of bones and joints: </div><div style="text-align: justify;">- Spine (spondylitis): gibbus </div><div style="text-align: justify;">- Pelvis (koksitis): lame swelling in the hip </div><div style="text-align: justify;">- Bone knee: a limp and / or swelling </div><div style="text-align: justify;">- Foot and hand bones </div><div style="text-align: justify;">- TBC Brain and Nervous: meningitis, with symptoms iritabel vomiting, stiff neck and decreased consciousness </div><div style="text-align: justify;">- Symptoms of eye </div><div style="text-align: justify;">- Conjunctivitis fliktenularis </div><div style="text-align: justify;">- Choroid tubercles (only visible by funduscopic) </div><div style="text-align: justify;">- Other</div>

By Deden Sura AgungTuberculosis (TB) is a disease that has long been recognized by humans. Mycobacterium tuberculosis causes tuberculosis germ has been discovered by Robert Koch in 1882. Although already known for so long and have long found the drug - a potent antituberculosis drugs, today TB is st…

PREGNANCY SEROTINUS

<div style="text-align: justify;"><b style="color: #bf9000;"><span style="color: black; font-family: georgia; font-weight: 400; text-align: left;">By </span><b style="color: black; font-family: georgia; text-align: left;">Deden Sura Agung</b></b></div><div style="text-align: justify;"><b style="color: #bf9000;"><b style="color: black; font-family: georgia; text-align: left;"><br /></b></b></div><div style="text-align: justify;"><b style="color: #bf9000;">DEFINITION</b></div><div style="text-align: justify;">Pregnancy serotinus is a pregnancy that lasted 42 weeks (294 days) or more, calculated from the first day of last menstrual cycle 28 days or 280 days (40 weeks) from day of conception. Another term often used is overdue pregnancy, postmaturitas, delayed pregnancy, postdatism or postdates. Approximately 10% of pregnancies continue until 42 weeks, 4% continued until the age of 43 weeks.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><span style="color: #bf9000;">DIAGNOSIS</span></div><div style="text-align: justify;">Determination of gestational age based on the formula Naegele, calculated from the first day of last menstrual period and based on the menstrual cycle (estimated delivery is 280 days or 40 weeks from the first day of last menstrual cycle 28 days or 266 days after ovulation). So to determine the pregnancy gestation serotinus must be known precisely. Naegele formula is still commonly used, but must keep in mind the various factors that may affect / result in errors of calculation, namely:</div><div style="text-align: justify;">1. Determination of gestational age based on the first day of last period is often not easy because the mother could not remember the date of the first day of last menstrual period with certainty.</div><div style="text-align: justify;">2. Determining the time of ovulation is not easy.</div><div style="text-align: justify;">3. Factors that affect the calculation, such as menstrual cycle variations, the calculation error by the mother, and so forth.</div><div style="text-align: justify;">Apart from menstruation, pregnancy age determination can be assisted by a clinical re-evaluate the age at first pregnancy from mother to come. The earlier a pregnancy examination performed, gestational age has come closer to the truth. Clinicians also need to ask when was the movement of children or take measurements in serial fundus uteri. Examination of high serial fundus uteri in pregnancy serotinus will show a decline, because the fetus is not growing larger while the amniotic fluid began to decrease. Mother also felt fetal movement decrease the frequency and intensity.</div><div style="text-align: justify;">Ultrasound examination is very helpful estimated gestational age. With the ultrasound gestational age can be determined more accurately by the deviation is only more or less a week. But there is also a problem in multiple pregnancies / twins because each fetus will be smaller than in normal singleton pregnancies.</div><div style="text-align: justify;">In Indonesia, the diagnosis of pregnancy serotinus very difficult because many mothers do not know the date of the last menstrual period properly. A good diagnosis can only be made if the patient checked out since the beginning of pregnancy.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b><span style="color: #bf9000;">ETIOLOGY</span></b></div><div style="text-align: justify;">Experiments on animals show that pregnancy causes serotinus is a combination of maternal and child factors. Factors that affect pregnancy serotinus, namely:</div><div style="text-align: justify;">1. Factors placenta: placental sulfatase deficiency of the enzyme</div><div style="text-align: justify;">2. Factors children: adenokortikotropik hormone deficiency (ACTH)</div><div style="text-align: justify;">3. Maternal factors. Although there is no obvious explanation, there are several factors that allegedly associated with pregnancy serotinus, such as age, parity, state serotinus seosioekonomi and history of previous pregnancies. According to the study, the incidence of pregnancy serotinus increased from 10% to 27% in women with a history of pregnancy serotinus before and to 39% in women with two previous serotinus pregnancy history.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b style="color: #bf9000;">CLINICAL</b></div><div style="text-align: justify;">Postmaturitas syndrome is a term used to describe the clinical state of infants who showed more months of pregnancy. This situation occurs in 30% of pregnancies serotinus and 3% pregnancy term.</div><div style="text-align: justify;">Signs serotinitas:</div><div style="text-align: justify;">1. Disappearance of subcutaneous fat</div><div style="text-align: justify;">2. Dry skin, wrinkles or cracks</div><div style="text-align: justify;">3. Meconium staining of the skin, umbilicus and amniotic membrane</div><div style="text-align: justify;">4. Nails and long hair</div><div style="text-align: justify;">5. Lazy baby</div><div style="text-align: justify;">6. Face looked old and worried-looking</div><div style="text-align: justify;">In some cases even exceed 42 weeks gestational age, placental function remains good, resulting in a large baby (> 4000 grams). The incidence in pregnancy is 37-41 weeks was 1.4% and increased to 2.2% at 42 weeks gestation or more.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b style="color: #bf9000;">COMPLICATION</b></div><div style="text-align: justify;">Complications that can occur is the death of the fetus in the uterus (due to placental insufficiency) and neonatal mortality. The fetus also can suffer from hypoxia, hypovolemia, acidosis, breathing distress syndrome, hypoglycaemia or adrenal hipofungsi.</div><div style="text-align: justify;">Placental function peaking at gestational age 38-42 weeks, then decreased after 42 weeks, seen from the decreasing levels of estrogen and placental laktogen. Also occur placental spiral arteries spasm. As a result of supply disruption could occur oxygen and nutrients to live and intrauterine fetal growth and development. Circulation uteroplasenta reduced to 50%. By histopathology, placental abnormalities found were calcification, villous edema, pseudohiperplasia on sinsitium, degeneration of fibroids in placental villi and mikroinfark. The volume of amniotic fluid also decreases because the absorption is taking place. These circumstances are conditions that are not good for the fetus.</div><div style="text-align: justify;">Asphyxia is a major cause of neonatal mortality and morbidity. In neonates with serotinus autopsy found the petekie the pleura and pericardium, which is a sign of hypoxia and found the existence of particles of meconium in the lungs.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b style="color: #bf9000;">ASSESSMENT ANTEPARTUM</b></div><div style="text-align: justify;">Given the high morbidity and mortality in pregnancy serotinus, an assessment of the risk of antepartum dismaturitas must be done to decide whether the fetus was still allowed to stay in the womb (waiting for spontaneous labor) or to be born.</div><div style="text-align: justify;">Assessment of fetal well-being can be done by:</div><div style="text-align: justify;">1. Evaluation of amniotic fluid by amniocentesis or ultrasound (also for checking biometric).</div><div style="text-align: justify;">2. Monitor changes in fetal heart rate with no load (nonstress test) or with a load (contraction stress test). Test with a load no-load test performed if non rektif. If the result is unsatisfactory or suspicious, the test was repeated 24 hours later.</div><div style="text-align: justify;">3. Determine the biophysical profile scoring obtained from the NST and ultrasound examination to see the fetal heart rate, fetal breathing, fetal tone, fetal movement and the amount of amniotic fluid. It must be remembered that there is no way of monitoring fetal well-being of the most ideal, so it must be a combination of different ways.</div><div style="text-align: justify;">In addition to fetal welfare assessment, inspection also needs to be done to assess the degree of maturity of the cervix, using the Bishop score. It is necessary to determine further action.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b style="color: #bf9000;">TREATMENT</b></div><div style="text-align: justify;">1. Ekspektatif, therefore induction of labor associated with the incidence of uterine inertia, long deliveries, cervical trauma, cesarean section deliveries made and, in some cases, particularly with the immature cervix, ekspektatif care needs to be done, provided that good fetal condition. This is based on:</div><div style="text-align: justify;">    a. 60% of pregnancies will end in spontaneous labor at gestational age 40-41 weeks and 80% at 43 weeks gestation.</div><div style="text-align: justify;">    b. With the advancement of medical technology for monitoring the welfare of the fetus, the fetus can still be retained in the uterus during the situation is still good.</div><div style="text-align: justify;">2. Active, without seeing the state of the cervix, induction should be performed on fetuses that have a risk for experiencing postmaturitas syndrome or when the pregnancy reaches 308 days of age (44 weeks). Pregnancy should also be immediately terminated if the biophysical profile scoring 0-2, found oligohydramnios (<2 cm in greatest sac or amniotic fluid index <5), variable decelerations encountered in no-load test, load test results with positive, ripe cervix (Bishop score > 6), there PJT or patients with complications such as preeclampsia or diabetes mellitus.</div><div style="text-align: justify;">Genesis long obstructed labor, uterine inertia hypotonic and fetal distress during labor will increase, so that the induction of pregnancy serotinus intrapartum monitoring should be more stringent. Induction can be performed with oxytocin by intravenous drip or by the use of prostaglandin preparations.</div><div style="text-align: justify;">In some cases even exceed 42 weeks gestational age, placental function remains good, resulting in a large baby (> 4000 grams) that can complicate delivery. In this case the action performed cesarean section.</div><div style="text-align: justify;">At the time of delivery, amniotic fluid state is considered important. If meconium staining has occurred or even coagulation with blackish green, so baby born resuscitation should be done immediately. Ideally directly performed tracheal intubation and rinsing</div>

By Deden Sura AgungDEFINITIONPregnancy serotinus is a pregnancy that lasted 42 weeks (294 days) or more, calculated from the first day of last menstrual cycle 28 days or 280 days (40 weeks) from day of conception. Another term often used is overdue pregnancy, postmaturitas, delayed pregnancy, postda…